Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Soundtrack

Recomended

Social Icons

Rabu, 11 Februari 2015

No Man’s Land, Band Punk asal Malang yang Go International

nomanslandSudah 20 tahun No Man’s Land berkecimpung di musik punk Malang. Saat ini, karya-karyanya sudah dikenal di luar negeri. Bahkan, sebagian albumnya diproduseri pengusaha luar negeri seperti dari Malaysia dan Belanda. Berbicara mengenai No Man’s Land, tentu tidak lepas dari sosok sentral seorang Didit Samodra, vokalis dan gitaris, sekaligus penulis lirik di semua lagu band tersebut. Selama 20 tahun, No Man’s Land sering berganti-ganti personel. Awalnya, ketika terbentuk di 1994, band ini digawangi oleh Didit bersama tiga temannya, yakni Catur (bass), Didik (drum), dan Ferry (gitar). Tapi belakangan, formasinya berubah menjadi Didit, Galih Sukma (gitar), Mirza (bass), dan Tamtam (drum).

Ditemui di rumahnya, Jalan Simpang Teluk Grajakan Blok V/19, keseharian Didit sangat bersahaja. Dengan ramah, Didit mempersilahkan Jawa Pos Radar Malang untuk masuk ke ruang tamu. Sejumlah pigura bertuliskan lafadz Alquran menjadi penghias dinding ruang tamu.
Sedangkan di salah satu sudut ruang tamu, terlihat sebuah lemari kaca berisi puluhan kaus, t-shirt bertuliskan brand-brand sejumlah produk. ”Beberapa tahun belakangan saya menjalankan bisnis konveksi,” sambung pria berkepala plontos tersebut.
Selang beberapa menit kemudian, perhatian terpecah ketika anak sulung Didit, Raihan Athayu datang. ”Raihan, ayo salat Duhur dulu,” kata Didit kepada sang anak.
Bila melihat kesehariannya, orang mungkin tidak menyangka bahwa Didit adalah vokalis dan gitaris grup band punk. Lihat saja bagaimana aksinya di setiap panggung. Tidak harus melihat secara langsung, tapi bisa lewat video-video No Man’s Land yang diunggah keYouTube.
Kaus hitam, celana jins, sepatu boot hampir tidak pernah ditinggalkan Didit. Begitu pun dengan personel No Man’s Land lainnya. Seperti musik punk kebanyakan, permainan-permainan distorsi gitar nan energik menjadi satu ciri khas. Gaya vokalnya juga, kurang lebih seperti orang yang berteriak-teriak. Mereka yang biasa menikmati musik slow, mungkin tidak akan nyaman dengan musik punk dan sejenisnya. Tapi, inilah punk.
No Man’s Land, bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor musik punk di Indonesia. ”Kalau di Malang, kita menjadi satu-satunya pioner,” lanjut dia.
Ceritanya, pada 1994 lalu, No Man’s Land adalah band yang dibentuk Didit bersama teman-temannya semasa SMA. ”Kita tidak berasal dari satu SMA yang sama. Tapi dari beberapa SMA,” sambung pria 39 tahun tersebut.
Pada 1994 lalu, punk masih menjadi istilah asing bagi masyarakat Malang. Tidak seperti sekarang, dimana hampir setiap bulan digelar konser musik punk di Malang. No Man’s Land pun mencoba memperkenalkan musik punk, dari satu festival ke festival band di Malang. ”Mulai 1995, kita coba-coba rekaman. Ya, dengan alat seadanya,” lanjut bapak dua anak tersebut. Hingga 1996, sudah dua album yang dihasilkan oleh No Man’s Land.
Nah, Juli 1996 bisa dikatakan menjadi awal dari kebangkitan musik punk di Malang. Saat itu, Didit dan anak-anak No Man’s Land lainnya menggagas sebuah konser musik punk dan underground di gedung YPAC (Yayasan Pembina Anak Cacat) di Jalan Serayu. ”Itu menjadi event khusus musik punk pertama di Malang,” ucap Didit.
Event itu sekaligus menjadi cikal bakal event-event sejenis yang kemudian banyak berkembang di Malang hingga saat ini. Tidak hanya puas menjangkau komunitas-komunitas musik punk di Malang, Didit juga mencoba menembus komunitas di luar Malang. Bahkan, ke luar negeri. Korespondensi atau surat-menyurat menjadi cara yang dilakukan.
”Di dunia punk, mengenal budaya barter. Jadi, kita kirim kaset-kaset rekaman band kita ke band-band punk di luar negeri. Sebaliknya, band-band luar itu juga nantinya, mengirimkan kasetnya kepada kita,” terang pria kelahiran 1975 tersebut.
Cara itu terbilang efektif untuk mengenalkan No Man’s Land ke luar negeri. Hingga akhirnya, pada 1997, sebuah label rekaman dari Malaysia tertarik untuk mendistribusikan karya-karya No Man’s Land. Konsepnya splitalbum, dimana dalam satu album berisi lagu-lagu dari dua band. Waktu itu, band Dodit split dengan Karatz, band punk Malaysia.
Dari tahun ke tahun, selalu ada perkembangan yang dicatat No Man’s Land. Sejak 1999, lagu-lagu mereka didistribusikan oleh label-label di Eropa, seperti Inggris dan Perancis. Meski begitu, selama ini, No Man’s Land tidak pernah konser di luar negeri. ”Kita sebenarnya sering mendapatkan tawaran manggung di sana,” sambungnya.
Tapi sekali lagi, No Man’s Land hampir tidak punya waktu untuk manggung. Terutama di atas 2001. Bahkan, untuk di Malang sekalipun, di kalangan anak punk, No Man’s Land dikenal sebagai band yang hanya setahun sekali manggung. Didit mengatakan, No Man’s Land adalah band punk Oi!, yang berisi orang-orang dari kelas pekerja.
Bagi Didit dan personel lain di No Man’s Land, musik punk hanyalah sarana untuk mengeluarkan aspirasi dan idealisme mereka. No Man’s Land bukan media untuk mencari materi. Apalagi, berbeda dengan musik-musik komersil, musik punk memang belum menjanjikan secara material. ”Kita cari uangnya ya dengan bekerja. Seperti saya buka usaha konveksi, Galih kerja di bank, Tamtam jadi sopir forklift, dan Mirza kerja di perusahaan kerupuk Kendal,” kata dia.
Karena kesibukan bekerja, sulit bagi mereka untuk menggelar konser. Bahkan, paling banter, mereka hanya bisa berkumpul dua minggu sekali. Tapi, itu tidak membatasi kreativitas mereka. ”Kita tetap bisa rekaman. Caranya, masing-masing personel recording terpisah, lalu di-mix,” lanjutnya.
Karena itu, tidak heran bila mereka bisa menghasilkan sembilan album dalam 20 tahun terakhir. Didit mengatakan, lagu-lagu No Man’s Land kebanyakan berisi tentang kritik-kritik terhadap kondisi sosial. Tapi, tema-tema lain juga sering dibuat oleh No Man’s Land. Seperti lagu Brother Wake Up! yang rilis 2012 lalu. Pada sampul album, lagu tersebut didedikasikan untuk sahabatnya, Bibin Bintariadi, wartawan Tempo, yang meninggal karena sakit di tahun 2012. ”Sebelum meninggal, saya beberapa kali menyambangi Bibin ketika dia sakit,” kata dia.
Pada 23 Juni mendatang, mereka akan merilis dua album sekaligus yang akan didistribusikan oleh Aggro Beat, label asal Belanda. Satu album, konsepnya splitdengan band punk lokal lain, The Young’s Boot. Sedangkan album satunya, No Man’s Land splitdengan band asal Inggris, Surgery Without Research. Yang menarik, dua album itu dirilis dalam format piringan hitam ukuran tujuh inci. Piringan hitam?
Rupanya, piringan hitam menjadi tren yang kini mulai banyak berkembang di Eropa. Bahkan, Agustus mendatang, No Man’s Land juga bakal me-launchingsatu album lagi via Aggro Beat. ”Formatnya, lagi-lagi piringan hitam. Tapi ini yang lebih besar, 12 inci,” kata pria yang di 2007 sempat menjadi wartawan di sebuah surat kabar lokal Malang ini. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates